[Episode Beasiswa ke Amerika] Pertanyaan-Pertanyaan di Idul Adha

Jumat, 27 November 2009

Azan subuh memang belum berkumandang, tapi mata saya sudah terbuka. Sayup-sayup telinga saya menangkap suara takbir. Allahu Akbar! Hari ini Hari Raya Qurban. Hari ini sekaligus hari keberangkatan ke Malang. Perasaan saya masih bercampur aduk. Perlukah haru, sebab saya kembali menjalani hari raya di Tanah Orang? Perlukah senang, sebab saya bisa lolos ke seleksi selanjutnya dari proses mendapatkan beasiswa IELSP ini? Perlukah deg-degan??? Iya! Sangat perlu. Hehe…


Saya mandi. Berpakaian yang rapi berupa kemeja biru muda pemberian bapak dan sarung kotak-kotak biru tua. Klop! Lalu, shalat subuh. Rencananya, saya akan melaksanakan shalat Idul Adha di halaman depan Magister Manajemen Unair seperti tahun yang lalu. Jadi, sambil menunggu jam menunjukkan pukul 05.15, saya membuka laptop, belajar. Mempelajari kopian aplikasi beasiswa saya, terutama esai-esai yang saya tuliskan di dalamnya. Katanya Jamal, yang beberapa kali mendapatkan beasiswa, materi wawancara tidak jauh-jauh dari apa yang telah kita tuliskan di formulir aplikasi. Jadi, tes wawancara tersebut semacam pos untuk memverifikasi data yang telah kita tuliskan sekaligus menguji kekonsistenan antara apa yang ditulis di aplikasi dengan apa yang dikatakan saat wawancara.

Saya pun membuka notes kecil dan mulai mengarang-ngarang pertanyaan yang sekiranya muncul. Dari pengalaman teman-teman yang ikut seleksi beasiswa Erasmus Mundus ke Uni Eropa, termasuk Jamal yang sangat beruntung bisa lolos, salah satu pertanyaan dalam wawancara adalah mengenai keluarga kita. Dan, memang di aplikasi beasiswa juga terdapat sebuah kotak yang harus kita isi dengan bercerita mengenai kondisi diri pribadi dan keluarga.

Berikut ini beberapa pertanyaan yang saya karang sendiri dengan membayangkan suasana wawancara.

1) What is IELSP?
2) What are the objectives of this program?
3) Why do you apply IELSP?
4) Tell us about your family!
5) Who is the most supporting people in your life?
6) Please, tell us about the most pressing issues faced by Indonesia?
7) What is your long-term career aspirations?
8) If you had come back from USA, what will you do?
9) Why do you want to be a journalist?
10) How do you manage yourself when you’re in different culture?
11) Why dou you proper to get this scholarship?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut pun saya coba tuliskan jawabannya. Sebab, saya memang tipikal orang yang sebisa mungkin sebelum ngomong punya konsep di oret-oretan kertas. Jika sikon tidak memungkinkan, cukup mencatatnya di kepala. Biar lebih mantap dan pede saat berbicara, itu alasan saya.


Setelah saya rasa cukup, saya pun keluar dari kontrakan. Tak lupa menyelempangkan sajadah di bahu kiri. Sip! Berangkat. Rencana semula ternyata berbelok sekian derajat. Sebab, di jalan besar Kalidami, masyarakat sekitar ternyata menggelar Shalat Idul Adha. Karpet hijau nan panjang pun dihampar. Masih belum begitu banyak jamaah yang datang rupanya. Saya pun mengambil posisi yang tidak terlalu jauh dari mimbar khatib. Mulai merasakan denyar takbir yang tak hanya di bibir tapi jauh melesak ke dalam dada.


Pulang. Tiada daging kambing. Nasi belum dimasak. Saya mengantuk. Tertidur. Bangun sekitar pukul sepuluh. Saya pun menyiapkan ‘perkakas’ ke medan laga ke Malang, yakni berupa kemeja, handuk, alat mandi, dokumen-dokumen, juga jaket. Tak lupa bikin catatan pengingat di hp agar memakai sepatu ke Malang. Sesi wawancara kudu berpakaian rapi dan sopan. Begitu anjuran panitia. Maria sempat menanyakan lewat sma, “Pakai pakaian formal, nggak?” Pakaian formal dalam artian kemeja untuk atasan dan celana kain untuk bawahan. Saya membalas, “Tidak perlu.”


Kami sepanjang siang itu berkoordinasi satu sama lain via sms. Termasuk tugas membeli tiket dan sebagainya. Hujan sempat pula turun dengan derasnya hingga saya tidak bisa keluar shalat jumat. Tidak ada payung. Saya pun meyakinkan diri untuk shalat zuhur dijamak dengan ashar.


Alhamdulillah… hujan mulai mereda meski tidak sepenuhnya. Masih ada rintik-rintik yang cukup lembut. Memakai kaos ‘Perahu Kertas’, jeans hitam (yang saya pakai juga saat tes wawancara), ransel, dan kets hitam, berangkatlah saya dari kontrakan. Sepanjang gang, basah. Di Indomaret, saya sempatkan diri masuk. Membeli cemilan untuk dikunyah di dalam kereta nanti. Teringat, saya belum makan. Cuma sebungkus mie goreng saja dari tadi pagi. Ah, cukuplah energi ini. Berharap juga Ririn, Maria, atau Shendy juga membawa bekal makanan dari rumah. Namun, tidak begitu adanya ketika sudah di kereta nanti. Hiks…


Sampailah saya di Stasiun Gubeng. Maria telah duluan sampai. Dia menawarkan diri untuk membelikan dahulu tiket buat kami bertiga. Oya, Ririn sendiri naik di Stasiun Gedangan, Sidoarjo. Jadi, dari Gubeng, saya, Maria, dan Shendy naik kereta ekonomi Penataran yang berkarcis 4 ribu sampai Malang itu.


Di dalam kereta yang tidak telat datangnya itu, kami mendapat tempat duduk yang nyaman. Perkiraan kami memang tidak meleset. Sebab, itu hari Idul Adha. Puncak arus mudik adalah sehari sebelumnya, yakni Kamis.


Sepanjang perjalanan hingga Ririn telah ikut bergabung, kami tak henti-hentinya mengobrol. Banyak macam. Tiga cewek bertemu, obrolan berbau-bau gosip pun tak terelakkan. Saya ikutan nimbrung. Apalagi menyangkut orang-orang di kampus. Unek-unek yang menurut saya, lebih baik kalau disimpan – dikonfidensiali – akhirnya keluar juga dari mulut ketiga teman saya itu. Dasar! Mengomentari para pengamen di dalam kereta pun tak luput. Tapi, setidaknya perjalanan kami yang 2,5 jam itu tidak terasa membosankan.

Sekitar setengah 6, sampai juga kami di Stasiun Kota Baru, Malang. Belum terlalu gelap. Tapi, sebentar lagi azan maghrib sepertinya akan berkumandang. Kami pun keluar, menyeberang jalan, dan masuk ke dalam angkot ADL.

Malam itu, Maria, Ririn, dan Shendy akan menginap di rumahnya Agit. Agit adalah teman kami di HI dulu, tapi setahun berikutnya ikutan SPMB lagi dan lulus di jurusan yang dia impikan, yakni Sastra Inggris Univ. Negeri Malang. Nah, kebetulan sekali tempat tes kami nantinya adalah di Fakultas Sastra. Ternyata, itu gedung kuliahnya Agit.

Sampai di rumah Agit dan menunaikan shalat maghrib, kami pun bersantap malam. Alhamdulillah… rezeki memang tidak akan ke mana. Apa itu? Gulai kambing! Jika setahun yang lalu saya bisa menikmati sate kambing pemberian ibu kos, Idul Adha tahun ini, saya bisa mencicipi gulai daging kambing. Bagi Maria yang semi-vegan, lebih memilih makan nasi goreng yang dibeli di dekat stasiun.

Terbukti ceritanya Maria dan Shendy bahwa orang tuanya Agit baik banget. Sebagai orang tua yang punya anak tunggal seperti Agit, mereka senang jika kedatangan teman-temannya Agit yang dari Surabaya. Maria bercerita jika pada kesempatan sebelumnya, mereka tak henti-hentinya dijamu, baik berupa makanan juga diajak kulineran di luar rumah. Ke sana ke mari juga buat jalan-jalan. Dan, dari sikap kedua orang tuanya Agit pada malam sabtu itu, saya bisa menangkap aura kebaikan mereka.

Sehabis makan, kami ngobrol-ngobrol dulu. Ibu Agit menawarkan pada saya agar menginap saja di rumahnya. Tapi, saya menolak dengan halus. “Saya akan menginap di kos teman, Bu! Depan Fakultas Teknik UB sana.” Beliau pun menyilakan.


Saya pun pamit pada teman-teman. Karena tidak ingin merepotkan banyak orang lagi, saya menolak ketika ingin diantar pakai sepeda motor. Saya beralasan, “Ntar teman saya yang jemput ke sini!” Padahal, tidak. Saya sudah berencana untuk jalan kaki saja meskipun agak jauh. Dari Betek sampai Universitas Brawijaya, lumayan sih!


Di perjalanan, saya mampir dulu ke Alfamart, membeli susu dan roti buat sarapan besok paginya. Sebab, peserta tes wawancara diminta untuk hadir jam setengah 8 di Gedung D-7 Fak. Sastra UM, sehingga saya memperkirakan takkan sempat mencari sarapan. Apalagi masih nuansa Idul Adha. Pasti banyak warung yang tutup sebab para konsumennya, yakni kebanyakan mahasiswa, sedang pulang kampung. Ya, memang terbukti keesokan harinya seperti itu.


Sampailah saya di kosnya Iqbal. Iqbal adalah teman saya sejak SMP hingga SMA. Enam tahun selalu berada di kelas yang sama. Sekarang dia sedang menikmati kuliahnya di jurusan Arsitektur Univ. Brawijaya.


Saya pun istirahat, berbincang-bincang sebentar. Dan, ketika dia keluar cari makan, saya pun tertidur! Capek.


*still writing the next episode – paling mendebarkan dan seru*

26 thoughts on “[Episode Beasiswa ke Amerika] Pertanyaan-Pertanyaan di Idul Adha

  1. Kalo aku komen di postingan ini di reply gak ya… kok Fatah sekarang jarang bales reply hahahaha gak ding becanda, gapapa Tah, aku tahu waktu Fatah sempit jadi susah balesnya 😀 pokoknya aku menunggu tulisan Fatah selanjutnya yaaaa 😀

  2. Hehehe… Maaf, Cek Yaaan. Insya Allah kok mulai dibalas satu per satu… Dari tadi bener-bener nggak ada waktu… :)) hahaha… *alesan*Iya, selamat menunggu ya… hehehe….

  3. Waduuuuh, aku dulu belum kenal MP di tahun 2002-2003, saat ngelamar beasiswa Master IIEF, jadinya gak kepikir nulis sedetail ini :-)Nulis di diary udah berhenti jaman2 semester 2 kuliah S1, hiks…Padahal hidupku emang ‘penuh warna’.Loh, kok jadi curcol di sini, ahahaha…Asik Tah, nulis sedetail ini, buat memori kita, kenangan kita, nanti, saat kamu seumur aku skr, mgkn udah mulai lupa detail2 kecil di masa lalu 🙂

  4. @Mbak Ima: Hahaha… nggak apa-apa curcol, Mbak. Menyenangkan kok bisa membaca curcol Mbak yang penuh warna dan semangat itu… :)Saya sekadar ingin menerapkan ‘Verba Volent Scripta Manent’-nya blog saya ini… Meskipun definisi keabadian untuk hasil ciptaan masih perlu dipertanyakan…. :)I love details, Mbak. Meskipun terkadang kalo disuruh bercerita secara lisan, banyak hal yang terlewatkan :)@Cek Yan: Heheheh… tidak apa-apa… Mari kita lanjutkan petualangan ke sesi berikutnya. Hihihihi

  5. lafatah said: Sampailah saya di kosnya Iqbal. Iqbal adalah teman saya sejak SMP hingga SMA. Enam tahun selalu berada di kelas yang sama. Sekarang dia sedang menikmati kuliahnya di jurusan Arsitektur Univ. Brawijaya.

    padahal iqbal-nya sdh ada di Bontang

  6. enkoos said: Wah selamat ya Fatah. Dapet akhirnya?Ini sebenernya scholarship di US atau Uni Eropa toh?Kalau di US di kota mana? Mudah2an deket, bisa ketemuan.

    Belum, Mbak.Lagi nunggu pengumuman selanjutnya.Doakan ya…Ini beasiswa ke US. Ada beberapa pilihan: New Jersey, George Washington University, sama South Carolina…Mbak di kota mana?

  7. salimdarmadi said: Alhamdulillah, selamat ya Dek, sukses selalu…Ditunggu kisah berikutnya… 🙂

    Terima kasih, Mas Salim…Semoga saya bisa mencicipi pengalaman seperti Mas Salim sekarang :)Minta doanya…

  8. lafatah said: Belum, Mbak.Lagi nunggu pengumuman selanjutnya.Doakan ya…Ini beasiswa ke US. Ada beberapa pilihan: New Jersey, George Washington University, sama South Carolina…Mbak di kota mana?

    Amin ya Robbal Alamin. Insya Allah dapet.Wah di kawasan East Coast semua. Aku di kawasan Midwest. State Minnesota kota Duluth. New Jersey, Washington DC dan South Carolina tonggoan.Tempatku jauhhh nun di Utara sana. 5 jam nyetir dah nyampe Kanada.Eh, bisa milih nggak? Kalau iya, milih di DC. Melting pot itu. Banyak orang asing. Banyak museum. Mass transportation nya juga menyenangkan. Stasiun2 kereta maupun stasiun2 metro lega alias guede. Enak wis pokoke. Wis tak dongakno Fatah. Mudah2an kita bisa kopi darat.

  9. Amiiiiiiiiiinnn….ya Robbal ‘Alamiiiin…Matur nuwun, Mbak.Wah, jauh ya dari Minnesota ke tiga negara bagian itu???Mengenai penempatannya, pihak IIEF yang nentukan, Mbak.Kebayang kan kalo misalnya semua peserta yang kepilih, pada milih DC??? Hehehe…Ya, pokoknya semoga lulus saja dulu.Amiin… 🙂

  10. lafatah said: Kebayang kan kalo misalnya semua peserta yang kepilih, pada milih DC??? Hehehe…

    Iya juga seh…Kalau gitu milih Minnesota aja. Biar deket. Hehehehe…Tempat tinggalku kota pelajar lho. Kalau lagi summer kotanya sepi ditinggal pelajarnya pulang kampung atau gawean summer. Yang rame downtown, soalnya juga kota turis. Kotanya sih nggak gede2 amat. Tapi posisinya yg cihui. Pas di pinggir danau Superior. Danau air tawar terbesar di dunia.Lho kok malah promosi.

  11. Wowww…It’s really cool…Duh, semoga yak bisa mencicipi air danaunya nanti…Amiiiin…Hiruk pikuk pelajar di sana, merasakan sensasi udara daerah utara, dan ragam lainnya… hmmm … :))

  12. lafatah said: Wowww…It’s really cool…Duh, semoga yak bisa mencicipi air danaunya nanti…Amiiiin…Hiruk pikuk pelajar di sana, merasakan sensasi udara daerah utara, dan ragam lainnya… hmmm … :))

    Amin. Semoga :)Suasana kuliah disini berbeda dgn suasana kuliah di Indonesia. Apalagi ini kota kecil. Cuaca juga ikut mempengaruhi.

  13. lafatah said: Mei-Juni gitu, lagi summer kan di Amrik, Mbak???Panasnya kayak Indonesia pas musim kemarau, gitu?

    Tergantung di state mana Fatah. Kalau di tempatku, summernya seperti di Bromo. Sejukkkkk sekale. Enak kan. Kadang juga pernah sih, panas banget yang lembab gitu. Lengket dan sumuk. Tapi itu bisa dihitung dengan jari. 3 atau 5 hari dalam setahun.Lha wong di Utara gituloh.Kalau DC, mmm…bisa jadi ya. Kan di Selatan. Winternya juga nggak sebrutal tempatku. Ada sih salju, tapi basa basi doang. Sekedar numpang lewat.

  14. Hahaha… saljunya cuma basa-basi???? ckckckck….Saya aja belum pernah ke Bromo lho, Mbak. padahal lumayan deket kan dari Surabaya.Belum ada yang ngajakin ke sana. Pengennya ke Semeru dulu, soalnya teman ada yang bolak-balik jadi guide ke sana. Cewek pula. Salut deh sama dia….Summer di AS???Hmmm… Please,come soon my dream! :))

Tinggalkan Balasan ke lafatah Batalkan balasan