[Esai] Buku Islami: oleh Anak untuk Anak

*Esai lagi niiiih… Hehehe… Nggak tahu, belakangan ini saya keranjingan ikut lomba esai. Lebih enak saja. Bisa mengeksplorasi ide, dibubuhi pengalaman, serta dikuatkan data-data. Apalagi jurnal-jurnal yang saban minggu mencekoki saya di kampus, melatih gaya kepenulisan saya. Dulunya paling hobi nulis cerpen dan puisi. Meski, kadang stuck, menulis dalam dua genre terakhir ini kadang-kadang jadi hiburan yang mengasyikkan.

Nah, kali ini saya hendak menurunkan satu esai yang pernah saya ikutkan dalam Lomba Esai Pendidikan Islam ITB. Sempat bertanya pula pada Kang Iwok mengenai judul-judul novel anak yang dihasilkannya. Lagi-lagi tidak menang, tapi inilah. Daripada ‘jamuran’ di hard disk laptop, mendingan dibagi di sini.


Dunia literasi Indonesia semakin cerah dengan kehadiran buku-buku yang ditulis oleh anak-anak berusia di bawah 15 tahun. Jika Anda berkunjung ke toko buku, tidak mengherankan lagi terdapat spot atau rak khusus bacaan anak-anak. Ini mungkin suatu hal yang jamak, terlebih kebanyakan buku anak-anak ini ditulis oleh orang dewasa. Namun, jika Anda lebih jeli lagi melihat nama penulis yang tertera di sampul depan, Anda akan menjumpai pula torehan usia si penulis tersebut. Contohnya, My Super Mom, yang ditulis oleh Alisa, 9 tahun.

Isa Alamsyah, penulis buku “No Excuse”, suami Asma Nadia, dan ayah dari dua anak yang juga penulis menyatakan bahwa Indonesia selangkah lebih maju daripada Jepang dalam bidang literasi. Anak-anak di Jepang masih dalam tahap dikembangkan minat bacanya, sementara anak-anak di Indonesia sudah mulai menulis buku. Sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Logikanya sederhana, untuk bisa menulis, seseorang harus terlebih dahulu bisa membaca – mengenali huruf. Bahkan, saat semua orang mampu membaca, bukan hal yang gampang menaikkan levelnya menjadi mampu menulis. Oleh karena itu, pendidikan bisa menjadi pancingan untuk keluar dari problem ini.


Tulisan ini akan difokuskan pada bagaimana pendidikan Islami untuk anak-anak dalam keluarga ditanamkan dan dikembangkan melalui buku. Tentu saja, asupan buku yang diberikan pada anak-anak ini yang sesuai dengan ajaran Islam, penuh nilai moralitas, mengajak berpikir kreatif, menghibur, dan terlebih lagi yang penulisnya adalah anak yang sebaya dengan mereka. Mengapa harus sebaya? Sebab, sudah selayaknya, buku anak-anak ditulis pula oleh anak-anak. Setidaknya, mereka memiliki pengalaman berpikir yang sama dengan pemakaian kata-kata yang tidak jauh berbeda. Suasana psikologis yang coba dibangun oleh si penulis pun bisa tersampaikan dengan baik pada pembaca seusianya.


Saya bukan bermaksud abai pada penulis dewasa yang menulis buku untuk anak-anak.
Bahkan, saya kagum pada mereka yang telah mendedikasikan waktu, energi, bahkan hidupnya dengan menulis buku untuk anak-anak. Sekadar menyebutkan beberapa di antara mereka adalah Ali Muakhir, Benny Ramdhani, Tria Ayu K, Iwok Abqary, Nunik Utami, dan Ichen Cendika. Meski telah menyandang status sebagai orang tua, namun kepedulian dan kecintaan mereka pada anak-anak terus disalurkan melalui buku-buku yang mereka tulis. Iwok Abqary, misalnya. Ayah dua anak yang menulis novel adaptasi film ‘KING’ ini telah membuahkan buku-buku anak, seperti Sepeda Onthel Kinanti, Keajaiban Al-Qur’an,

Mungkin Anda agak bingung dengan istilah ‘Buku Islami’. Apalagi jika ‘Buku Islami’ tersebut ditulis oleh anak-anak. Seperti apakah kriterianya? Haruskah judul buku tersebut mencomot istilah-istilah yang identik dengan Islam? Apakah anak-anak mampu menulis buku dengan tema ‘berat’ seperti itu?

Sebenarnya, agak sulit mendefinisikan ‘Buku Islami’ itu seperti apa. Namun, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, Islam merupakan agama yang universal. Ajarannya tidak semata menandaskan pentingnya menjaga hubungan dengan Allah SWT., tapi juga bagaimana berbuat kebajikan pada sesama juga alam semesta. Jadi, buku-buku yang memuat nilai-nilai kebaikan, yang ditulis dengan bahasa santun, menyimpan pesan moral, serta dapat menggugah kesadaran relijius pembaca, bisa dikatakan sebagai ‘Buku Islami’. Jadi, perlu kiranya untuk membedakan ‘Buku Islami’ dengan ‘Buku Islam’ alias buku-buku teks yang memang ditulis khusus untuk membahas Islam.


Berkaca pada pengertian di atas, maka tidaklah mustahil bagi anak-anak untuk menulis buku-buku Islami. Anak-anak bisa mengambil salah satu sudut kecil penceritaan dalam dimensi nilai-nilai Islam yang sedemikian luas ini. Tema-tema yang bisa ditulis, misalnya: persahabatan, kejujuran, berbakti pada orang tua, menghormati guru, taat pada aturan, menolong sesama, mencintai kesenian, melestarikan lingkungan, dan sebagainya. Tema-tema ini kemudian dieksplorasi lagi melalui pengamatan secara langsung, membaca ensiklopedi dan buku-buku, menelusuri internet, bertanya pada orang tua atau pihak yang berkompeten, dan lain-lain.


Kelihatannya serius dan terkesan berat bagi anak-anak? Tentu tidak, jika orang tua memainkan perannya dengan cerdas. Di sinilah, orang tua berperan dalam mendampingi anak-anak selama berkegiatan intelektual ini. Mungkin sebelum anak-anak menikmati keasyikan menulis, perlu dipancing dulu minatnya. Orang tua bisa memberikan contoh dengan, misalnya: rajin mendongeng sebelum tidur, membaca atau membacakan buku di depan anak-anak, menyediakan bahan bacaan yang beragam dan sesuai di berbagai sudut rumah, atau menggiring anak-anak untuk melanjutkan cerita yang secara sengaja diputus oleh orang tua. Kedua belah pihak akan merasakan manfaat yang banyak berupa: komunikasi yang intens antara anak dan orang tua, daya imajinasi anak yang meningkat, kreativitas anak dan orang tua yang berkembang, kemampuan kinetis anak yang terpompa lewat permainan peran, serta kedekatan emosional anak dan orang tua yang semakin terbangun.


Selanjutnya, orang tua mengarahkan anak untuk bercerita lewat tulisan. Trik yang sama bisa dilakukan orang tua, semisal: sengaja memutuskan cerita di tengah-tengah dan meminta anak untuk melanjutkannya melalui tulisan. Atau orang tua berpura-pura sibuk mengerjakan ini itu dengan tujuan agar anak bisa mandiri mencari tahu informasi yang dia butuhkan. Andaikan anak membutuhkan observasi atau pengamatan langsung di luar rumah, orang tua bisa mendampingi. Misalnya, saat anak ingin menulis tentang profesi. Orang tua bisa mengajak anak untuk mengunjungi secara langsung petani di sawah, polisi lalu lintas di perempatan, penjual koran di jalanan, perawat di rumah sakit, pedagang di pasar, dokter di klinik umum, atau pak pos di kantornya. Hal ini secara tidak sadar akan membangun keberanian, rasa percaya diri, serta jiwa sosial anak.


Pengalaman-pengalaman ini lantas dituangkan oleh anak melalui tulisan dengan bahasanya sendiri. Orang tua cukup menyediakan medianya, misalnya buku tulis kosong dengan kertas warna-warni ata
u bahkan seperangkat komputer. Selama menulis, bisa saja anak minta ditemani atau justru ingin sendiri menghadapi kertas atau layar komputer di depannya. Orang tua perlu bijak menyikapi hal ini.


Kelak, ketika anak telah selesai menuliskan kisah atau ceritanya, orang tua bisa membantu mengedit atau merapikan tanda baca, misalnya. Lantas, sebagai bentuk penghargaan pada anak, buku yang ditulis oleh sang anak tersebut dikirimkan ke penerbit untuk diterbitkan. Pun, jikalau seleksi penerbit teramat sulit ditembus, orang tua bisa menyiasati dengan menerbitkan sendiri buku anaknya. Menyiapkan desain sampul, mencetaknya, menjilidnya, lalu membagi-bagikannya pada teman-teman si anak atau kolega terdekat. Sampai tahap ini saja, bisa dibayangkan kebahagiaan yang dirasakan oleh anak. Lebih-lebih saat orang lain, entah teman atau kolega, memberikan apresiasi positif pada karya sang anak. Ini bisa jadi pemicu bagi anak untuk terus berkarya dan menyebarkan buah pikiran serta nilai-nilai Islami yang didapatkannya melalui tulisan.


Buku Islami anak, ditulis oleh anak-anak, dan dikonsumsi oleh sebaya mereka. WOW! Bisa dibayangkan investasi pahala yang ditanamkan oleh si anak bersama orang tuanya. Sebuah kolaborasi dahsyat untuk membangun peradaban dari skup kecil bernama keluarga. Tak tergiurkah Anda?


*gambar diculik dari http://yogyakartacity.olx.co.id*

8 thoughts on “[Esai] Buku Islami: oleh Anak untuk Anak

  1. lafatah said: Buku Islami anak, ditulis oleh anak-anak, dan dikonsumsi oleh sebaya mereka. WOW! Bisa dibayangkan investasi pahala yang ditanamkan oleh si anak bersama orang tuanya

    tp kalau apa yg ditulis salah akibat kurang referensi atau memakai referensi yang tidak shahih, bisa dibayangkan berapa besar dosa orangtuanya. kecuali si anak sudah baligh, dosanya tanggung sendiri. ya ndak…

  2. Ya, betul sekali, Mbak.Meskipun sekadar fiksi, gitu ya. Kalo salah dalam pengemasannya juga ya…tetap berada dalam tanggungan ortu.Tapi, tapi… tentunya tho dalam proses menjadi sebuah buku itu, akan ada keterlibatan penerbit or let say, orang-orang yang lebih dewasa, dalam proses penyuntingan mungkin.Sehingga probabilitas adanya kesalahan referensi bisa diminimalkan.

  3. dalam proses penyuntingan, memang melibatkan orang dewasa, dalam hal ini editor. ada editor tata bahasa, ada pula editor isi. sehingga kesalahan dapat diminimalkan. namun, jika penerbit hanya menurunkan editor bahasa saja, maka isi menjadi kurang terperhatikan.dalam konteks buku islami, –menurut pendapatku– tidak layak anak2 menulis buku islami, karena mereka sendiri sedang dalam tahap pembelajaran agama. aku ragu mereka memiliki kemampuan dan akses ke kitab2 hadis dan kitab fikih misalnya. jangankan yg berbahasa arab (belajar bahasa arab aja masih patah patah), kitab terjemahan indonesia dari bahasa asing pun, aku ragu mereka sanggup membacanya. maaf, hanya opini lho, fatah 🙂

  4. Di paragraf kelima, sudah saya nyatakan beda ‘buku Islami’ dengan ‘buku Islam’, Mbak. Hehehe…Jadi, apa yang Mbak nyatakan lebih pada buku islam, bukan buku islami.Hehehe…Tapi, terima kasih banyak lho atas masukannya. Setidaknya, makin mempertajam pengertian ‘buku islam’ itu sendiri :))

  5. hihihi… soalnya aku melihat tidak ada perbedaan mendasar antara buku islam dengan buku islami, fatah 🙂 jika buku islam disempitkan menjadi buku teks dan buku islami adalah buku yang memuat nilai-nilai kebaikan universal (ditilik dari sisi islam, oleh karena itu tata caranya juga harus seperti yg dituntunkan dalam islam, baik niat maupun cara menampilkan kebaikan itu sendiri yg tidak melanggar adab islam–maka penting mencari referensi ttg akhlak dalam islam ), maka apalah beda sebenarnya? bukankah secara materi muatannya memang nilai islam itu sendiri? baik disajikan sebagai buku teks maupun sebagai buku yang memuat nilai islami, keduanya haruslah memakai referensi yang benar. mari kita analogikan dengan buku teks pengetahuan dengan buku (misalnya novel) yang memuat unsur pengetahuan. penyajian keduanya jelas berbeda, namun materi (pengetahuan) di dalamnya sama-sama harus valid dan tidak boleh salah, bukan? perbedaan keduanya hanya dalam penyajian dan seberapa luas bahasan materinya. maaf aku cerewet ya 🙂 terima kasih sudah mau mendengarkan dan menanggapi kebawelanku, fatah 🙂

  6. asyik!penjelasan Mbak lebih membuka cakrawala pemikiranku, Mbak.itulah asyiknya diskusi. ada input-input dan pemahaman itulah yang memang menjadi tujuannya.analogi mbak bisa aku pahami…okeeeh… setidaknya, tanpa komentar dari para juri pun, based on komentar mbak saja, sudah bisa membuatku paham akan kekurangan tulisan ini… :))

  7. waahh, aku ga bermaksud menilai kayak juri lho, fatah. mungkin juri dan orang lain akan berpendapat berbeda. mudah2an perbincangan ini ada manfaatnya buat kita berdua, ya. jika ada kata2 yg kurang berkenan, mohon dimaafkan, ya.

  8. Hehehe… setidaknya sudah ada yang ngasih inputan, dan menurut saya masukan dari Mbak cukup bisa saya terima. Hehehe… santai sajalah, Mbak. Saya juga kan masih banyak belajar. Sharing dari Mbak, bagus, menurut saya :))

Tinggalkan Balasan ke nikinput Batalkan balasan