Tato

Petang tadi, sambil menggelesor di karpet Ruang Koleksi Khusus Perpustakaan Kampus B, aku menggambar gunung terbalik dengan ujung bolpoin. Aku menggambarnya di kulit tangan, hampir mendekati siku.

Tintanya hitam. Kulitku cokelat. Lantas aku berpikir, kalaupun aku bertato beneran, pasti tidak akan tampak menarik. Terlebih tubuhku kurus begini. Orang-orang pasti mencibirku sebagai pemadat. Atau cemoohan yang lebih ringan… “Orang yang tidak percaya diri!”

Kawanku di KPK (Kontrakan Punya Kita), Nino, yang kini jadi Pengajar Muda di Halmahera Selatan, adalah orang yang paling sering mengejekku di antara kawan KPK lainnya. Ia acap menawarkan diri untuk menggambar tato ‘ikan kering berduri’ d lenganku yang tidak lebih besar dari tiang listrik ini. Bayangkan! Tato ikan kering. Itu pun ikannya sudah dihabiskan dagingnya. Yang tersisa hanyalah duri-duri rapi. Preman pasar sekalipun akan turun kadar sangarnya dengan tato semacam itu! Apalagi aku yang sudah dari sananya sudah dikenal tidak macam-macam.

Ada-ada saja.

Jujur, melihat orang bertato, aku bergidik. Bukan ngeri. Tapi, lebih pada kesan bahwa mereka orang-orang tidak pede dengan tubuh mereka sebelum ditato. Oke, ada yang bilang kalau tato itu seni. Ujud ekspresi. Pengindahan tubuh. Pengilusian pandangan. Penarik perhatian. Pengatrol percaya diri. Bahkan, ada yang ekstrem, ujud pemberontakan. Anti kemapanan. Sehingga, anak-anak punk pun biasa kita lihat bertato.

Ah, bagiku, tetap saja tidak menarik. Apakah karena aku belum pernah bertato sehingga berkomentar demikian? Bisa jadi. Namun, untuk berkomentar ‘tidak suka’, apakah harus mencobanya dulu. Ada tipe orang demikian – takkan bilang suka atau tidak suka kalau belum mencoba. Untuk urusan makanan, bolehlah aku demikian. Tapi, untuk urusan tato, aku tetap pada satu keputusan: tidak mencoba!

Apakah karena dogma yang aku terima sewaktu kecil tentang siksa yang diterima oleh orang bertato nanti di kubur dan di neraka? Pada masa itu, aku akui, iya. Namun, amatlah cetek jika diperbudak oleh dogma. Aku pun coba berpikir lebih jauh.

Tato – lepas dari jenisnya: temporer dan permanen – tetaplah merusak ‘kemurnian’ kulit. Ini bicara tentang kesengajaan. Sebab, tato kan dibikin bukan cap yang tertinggal karena bekas jahitan akibat kecelakaan. Pakai jarum suntik, men! Tinta-tinta warna seragam atau beragam diselundupkan di bawah kulit. Sakit? Hanya orang yang kulitnya mati rasa yang bilang tidak.

Kalau tato tempel yang temporer? Sama saja. Demi penampilan beda. Demi menarik mata. Demi mengatrol kepercayaan diri ketika berjalan di tengah keramaian. Demi memungut satu kata dari mulut orang-orang, “Keren!”

Ah, tulisanku ini sungguh mengejek dan menjelek-jelekkan orang-orang bertato.

Padahal, apa bedanya aku yang masih suka memakai kaos dari sponsor atau kaos-kaos hadiah dari pihak ini itu yang kesannya eksklusif? Sehingga, ketika aku memakainya, rasa percaya diriku naik satu level. Percaya diri yang bahkan kadang tak bisa kubedakan dengan ujub, riya, pamer, bahkan mungkin sombong.

Kaos yang aku kenakan dan tato yang tergambar di tubuh orang-orang itu tak ada bedanya. Sama-sama cap. Hanya beda posisi melekat.

Ah, sama sajalah aku ini dengan orang bertato!

N.B. Aura Idul Adha yang aku rasakan cuma di permukaan saja. Aku memang hamba yang masih brengsek.

7 November 2011

@Copy Paste Waroeng, Jojoran I. Ditemani roti bakar rasa cokelat dan black espresso serta dua buku. Mereka menatapku dingin.

74 thoughts on “Tato

  1. tintin1868 said: menyimak obrolan fatah & m.evia.. konsep menarik deh..eh ku punya tattoo loh..

    ayo ikutan nimbrung Tin, mumpung Fatah lagi zzzzzzzz. hihihihihi…

  2. enkoos said: ayo ikutan nimbrung Tin, mumpung Fatah lagi zzzzzzzz. hihihihihi…

    walah fatah bobo? ngalong ya dia.. ku bentar lagi meeting mbak.. ini lagi siap2.. tapi mo obrolin gini:1. menarik pengalaman m.evia soal orang bertattoo, jadi beneran ya ga semua tattoo itu serem.. kebanyak malah baik hati.. ini ku rasain dan ngalamin banget.. pertama kali kuliah ku tinggal di ibukota.. selama kecil sampe esema ga pernah kenal tattoo, di daerah ga ada aneh2.. eh begitu kuliah ku tinggal sama om yang penuh tattoo.. mana dia lama di jerman.. tapi baik hati banget tuh om.. jadi ya ku nyaman sama dia.. jadi buatku tattoonya dia ga beda sama bajunya dia.. sejak itu ku jadi belajar soal tattoo dan sejarahnya, apalagi sejarah indonesia juga ada kan warga yang bertattoo di mentawai, di papua, di kalimantan.. dan 10 tahun lalu ku punya tattoo.. buat nutupin luka keloid.. dan dari dulu penasaran sakit ga ditattoo itu? ternyata iya.. bukan buat gaya2an deh tattooku ini.. cukup satu, padahal pengen satu tangan loh.. 😀 *ntar aja kucerita soal ini..2. konsep belanja buku murah.. eh ku sepakat tapi kalu bukunya bagus, bayar mahal juga rapopo kog.. kaya itu kemaren ku dikasih buku gratisnya soeharto.. hardcover mahal.. tapi isinya bagus banget.. sisi yang berbeda.. eh ternyata babeku dapat gratis juga dari temennya.. tapi bukunya sekarang ku kasih ke temen yang bikin perpus jalanan.. ternyata ada sepupu yang minta bukunya karena kehabisan.. jadi ya ku beli saja.. ga dapat diskon.. lumayan buat hadiah ultah.. buatku sendiri buku bagus bukan buku bestseller kan.. tapi buku yang sesuai selera kita.. buatku semua bagus kog.. menulis itu kan proses ya..segini dulu.. kabur meeting dulu.. ntar balik lagi..

  3. malambulanbiru said: Bikin tato, Bra der! Tato tengu! m/

    Emoooooooooohhh!!! Mayak iki. Mending aku bikin tato semut merah di kulit pohon trembesi…*nyanyi lagu Chryse*

  4. malambulanbiru said: Btw, aku kemaren pingin ditato temporer sebenernya. Tapi karena tahu bakal ga keliatan & ga bisa dipamerin akhirnya ga jadi. 😦

    Lha piye tho? Jelaslah nggak keliatan. Kecuali kalo sampeyan mau mamerinnya di dalam kamar? Pertanyaannya: ke siapa? Bukan siapa, tapi apa :DCoba deh bikin tatonya di jilbab atau jins belel sampeyan, pasti ngeroooooocccckkkk abis! Akhwat nge-roooock! 😀

  5. enkoos said: wah pada deketan gitu ya tempatnya dan bersaing dalam harga. Lagi lagi konsumen yang diuntungkan. Bagaimana dengan koleksinya? Apakah sekomplit Gramedia yang di Basuki Rahmat?Ngertiku ming toko buku kuwi thok. Hehehehehe..ndeso yo.

    Kalau dari segi koleksi sih memang masih kalah. Apalagi kalau sampeyan nyari buku-buku impor, tentu kalah sama Gramedia, Gunung Agung, lebih-lebih Periplus. Ini ada peta buku Surabaya yang dibuat sama tim kreatif c2o Library.Silakan sampeyan unduh.c2o-library.net/bookmap/SBM2011.pdf

  6. enkoos said: Tapi beda dengan obralannya perpustakaan. Ah..bisa kalap. buku setebal bantal diharga USD2 saja. arghh……

    Mbak, kasih saya rute ke perpustakaan yang ngobral buku. Please! :))))

  7. tintin1868 said: walah fatah bobo? ngalong ya dia.. ku bentar lagi meeting mbak.. ini lagi siap2..

    Ayooo, udah kelar ya meeting-nya? *ngeliat headshot Mbak Tin muncul di jurnal ini* 😀

  8. tintin1868 said: dan 10 tahun lalu ku punya tattoo.. buat nutupin luka keloid.. dan dari dulu penasaran sakit ga ditattoo itu? ternyata iya.. bukan buat gaya2an deh tattooku ini.. cukup satu, padahal pengen satu tangan loh.. 😀 *ntar aja kucerita soal ini..

    Ayooo dibikin tulisan khusus, Mbak.Kayaknya menarik nih!Pengin tau lebih banyak tentang tato dari pandangan Mbak :))Sakitnya kayak gimana blablabla :))

  9. tintin1868 said: konsep belanja buku murah.. eh ku sepakat tapi kalu bukunya bagus, bayar mahal juga rapopo kog..

    Dan, ketika akhirnya memutuskan untuk membeli buku, kan berarti telah tercapai kesepakatan antara penawaran dan permintaan. Harga bukunya cocok dengan duit yang kita punya :))Kendati bukunya obralan, saya juga bukan orang yang kalap harus beli semua. Saya sesuaikan juga dengan selera bacaan dan budget yang tersedia 🙂

  10. tintin1868 said: buatku sendiri buku bagus bukan buku bestseller kan..

    Setujuuuu!!!Best seller kan berdasarkan jumlah penjualan. Banyak yang beli, bisa jadi bukan karena isinya bagus, tapi marketing yang oke, reputasi penulis, atau tema buku yang kontroversial :))Bagus juga relatif dan amat subjektif 🙂

  11. lafatah said: Ayooo dibikin tulisan khusus, Mbak.Kayaknya menarik nih!Pengin tau lebih banyak tentang tato dari pandangan Mbak :))Sakitnya kayak gimana blablabla :))

    udah berapa jurnal ku bahas soal tattoo.. soal sakit ngetattoo ntar dulu.. 😀

  12. aku sih diperbudak dogma, lalu. alhamdulillah aku merasa ga cetek tuh. malah merasa beruntung menjadi budak/hamba Allah. btw, aku lihat apa yang kau tuliskan sebenarnya adalah rasionalisasi dari dogma-mu.

  13. lafatah said: c2o-library.net/bookmap/SBM2011.pdf

    klik.Ada Muriz bookstore aka pak rombeng. hahahahahaa…Aku punya peta Surabaya, yang beli di perempatan jalan. British Institute dengan CCF ternyata sama2 di Darmokali ya. Yang di gedungnya ITS itu apa namanya? British Council kalau gak salah. Apa bedanya sama British Institute?

  14. lafatah said: Mbak, kasih saya rute ke perpustakaan yang ngobral buku. Please! :))))

    Sayangnya gak dijual online :PAku gak berani liat Tah, bisa bisa pulangnya bawa buku sekardus. Mudah2an tahun depan ada lagi. Biasanya mereka ngadain book sales tiap tahun menjelang tutup tahun ajaran sekolah. Kira2 bulan Juni gitu deh.

  15. nikinput said: btw, aku lihat apa yang kau tuliskan sebenarnya adalah rasionalisasi dari dogma-mu.

    Wow! Terima kasih banyak Mbak Nov sudah mengingatkan saya.Saya jadi paham sekarang nih.Bahwa apa yang tampak saya hendak hindari sebagai dogma, justru ternyata rasionalisasi dari dogma itu.Dan, saya memang harus terus belajar untuk bagaimana memperlakukan dogma. Tidak menerimanya mentah-mentah, tapi juga sekaligus memikirkannya. Agar semakin bertambah keyakinan ini.

  16. enkoos said: ang di gedungnya ITS itu apa namanya? British Council kalau gak salah. Apa bedanya sama British Institute?

    Nah, ini nih. Ora ngertos aku Mbak :DMari kita tanyakan ke Mbah Google 😀

Tinggalkan Balasan ke lafatah Batalkan balasan