Indonesia, Negeri Jauh, dan Cita-cita

Sejak kecil, akibat membaca buku-buku cerita, saya penasaran sekali akan daerah-daerah lain di Indonesia. Saya pernah membaca buku cerita yang berseting Palembang. Di situ disebutkan Sungai Musi dan pempek. Maka, sekelumit informasi itulah yang terus melekat di benak saya hingga ketika saya diwawancara oleh panitia sebuah kompetisi jalan-jalan, saya memilih destinasi Sumatera Selatan. “Kenapa?” tanyanya, saya menjawab, “Saya ingin coba pempek asli Palembang.” Sesimpel itu alasan saya. Dan, Tuhan Mahabaik. Ia mengabulkan harapan saya.

Keranjingan mata pelajaran IPS, membuat saya melahap RPUL. Nama-nama ibu kota provinsi, sungai, danau, waduk, pahlawan, perjanjian, dan sebagainya. Saya waktu itu bertanya-tanya, sebenarnya. Mengapa kok sedikit sekali entry tentang provinsi saya sendiri, NTB? Apa karena memang daerah saya kurang menarik sehingga jarang yang mau menuliskannya?

Tapi, tetap saja, obsesi untuk mengetahui daerah-daerah lain terus bergaung di dalam kepala saya. Hal yang membuat saya menanam keinginan kuat, saya harus kuliah di Jawa.

Kuliah di Jawa pun sebenarnya juga karena dorongan dan motivasi yang terus-menerus diembuskan oleh bibi saya, seorang guru SD yang anak semata wayangnya kuliah di UI. Kami bertetangga. Jadi, kami sering berbincang-bincang, terutama mengenai pendidikan. Dia yang tak henti-hentinya memuji, membesarkan hati, dan mendorong saya untuk berprestasi. Sebab, dia pun sangat bangga anaknya berkuliah di UI lewat jalur prestasi. Maka, anaknya dan saya adalah dua subjek yang tak henti ia omongkan di mana saja berada. Mulai dari lingkungan keluarga, guru-guru di sekolah tempatnya mengajar bahkan guru-guru di sekolah saya, teman-teman arisannya, teman-teman saya, sampai para orangtua teman-teman saya. Hingga tak jarang mampir di telinga saya mengenai keberkicauan beliau tentang kami yang ditanggapi ‘minor’ oleh orang lain.

Bayangkan saja, jika teman-teman saya main ke rumah, beliau suka sekali ikutan nimbrung. Lalu, topik mengenai kuliah pun digelar.

“Elis, besok mau kuliah di mana? Jangan ambil jurusan itu, mending jurusan ini saja.”

“Raka mau jadi polisi, ya? Cocok sih. Badanmu gede.”

“Ijang ambil matematika ya? Nggak coba STIS?”

“Eva apa? Farmasi? Coba yang negeri dulu. Swasta yang bagus sih di blablabla…”

Elis, Raka, Ijang, dan Eva adalah teman se-geng saya di SMA. Mereka sering main ke rumah. Entah kami dalam rangka belajar bersama atau hanya kumpul hore. Karena bibi saya sering ikut nimbrung, kami berlima sepakat menamai bibi saya ‘Tante Jabodetabek’. Tidak lain karena beliau gaul. Ngobrol topik ini itu sama anak muda, oke-oke saja.

Sepeninggal beliau, kami akan cekikikan membahasnya.

Dan, beliaulah orang yang paling berlinang air mata di antara bapak, kakak, dan adik saya ketika saya akhirnya berangkat ke Jawa dan berkuliah di tempat yang bukan menjadi harapan besarnya. Gagal UI, saya terdampar di Malang.

Namun, saya tidak menyesali keputusan saya itu. Sebab, tak ada jurusan di perguruan tinggi di Mataram yang saya pilih. Bukan sok atau apa, cuma jurusan yang saya inginkan tidak ada di Mataram.

Sekarang barulah saya bisa berkata, mungkin itu cara Tuhan untuk memulai mengeksekusi impian-impian saya.

Maka, memasuki Banyuwangi, daerah paling timur dari Pulau Jawa, mata saya tak henti-henti memandang keluar jendela bus. Hasrat petualangan saya kian meletup. Inikah Jawa? Itukah rel kereta api? Beginikah ladang tebu, luas sekali! Saya membaca plang-plang di pinggir jalan. Nama warung. Nama jalan. Nama kecamatan. Ya, saya memang telah sampai Jawa!

Di Jawa, hal yang ingin saya lakukan adalah melihat konser artis secara langsung. Di Lombok kan jarang. Tapi, keinginan itu pelan-pelan pudar dengan sendirinya. Saya jauh lebih tertarik pada buku. Dan, Jawa adalah tempat yang tepat untuk memuaskan dahaga saya pada buku.

***

Dari Malang, saya pindah ke kota lain. Bukan Jakarta. UI telah saya coret. Saya harus tahu diri. Saya diterima di sebuah PTN di Surabaya. Beruntungnya, masih di jurusan impian saya.

Dari sinilah cerita tentang negara-negara lain mulai beruntun jadi topik obrolan sehari-hari. Ia hadir di ruang kelas, menjelma di tugas-tugas, bahkan jadi obrolan di galeri.

Tidak santai. Tidak sesantai yang saya kira. Aroma persaingan yang ketat begitu terasa. Materi-materi kuliah ibarat godam. Semester awal saya rasakan cukup berat. Sampai IP di bawah 3 membuat saya malu pada keluarga. Ya, sebagai anak kuliahan yang masih cupu dan merasa agak kontradiktif dengan hal-hal manis tentang kuliah yang diceritakan oleh bibi saya, membuat saya sempat patah semangat. Bahkan, mencuat pula di pikiran saya untuk pindah kuliah saja.

Tapi, saya bertahan. Apa yang membuat saya bertahan? Saya melihat teman-teman saya. Mencoba menakar posisi. Alangkah pecundangnya saya kalau harus pindah jurusan hanya gara-gara berada di antara anak-anak hebat. Kapan saya bisa maju kalau terus keenakan menjadi yang ‘paling’? Menjadi ‘paling’ itu tak ubahnya zona nyaman.

Saya punya teman-teman yang membuat saya terpacu untuk maju. Apalagi para dosen dan teman-teman kuliah saya membanggakan jurusan ini sebagai jurusan kedua favorit setelah Kedokteran. Tentu, harga itu perlu dibayar mahal dengan beban kuliahnya yang juga ‘favorit’.

Lama terobsesi dengan negeri jauh dan selalu berdecak kagum pada mereka yang bisa sekolah ke luar negeri karena beasiswa, maka saya kira, saya berada di lingkungan yang tepat. Beberapa teman saya semasa SMA-nya pernah sekolah di Jepang dan Amerika Serikat lewat beasiswa. Kakak-kakak kelas saya ketika saya di tahun pertama kuliah, ada yang sedang menjalani program pertukaran pelajar dan pemuda ke negara lain.

Saya, kapan?

Maka, ketika di semester lima dan enam, informasi beasiswa begitu deras berseliweran. Saya mencoba dua kali untuk beasiswa yang berbeda, yakni IELSP (Indonesia English Language Study Program) dan SUSI (Study of U.S. Institute). Keduanya dari Kedutaan Besar AS. Tapi, saya tidak lolos keduanya. Satunya mentok di wawancara. Satu lagi memang tak lolos administrasi.

Sementara itu, teman saya lolos ke AS, ke Belanda, ke Turki, juga Malaysia.

Ya, saya kira, memang belum saatnya. Saya kiranya perlu lebih giat lagi belajar, berusaha, berdoa. Saya hanya optimis saja bahwa kesempatan itu akan datang.

Saya mencoba membandingkannya dengan pengalaman saya menulis dan akhirnya menerbitkan buku. Di akhir masa SMA dan awal kuliah saya ingin sekali punya buku solo segera. Pokoknya di bawah usia 20 tahun, harus sudah punya buku solo. Tapi, di usia 22 hal itu terjawab. Saya harus menitinya dengan lebih sabar. Banyak belajar menulis, meluaskan jaringan, dan tentu saja lebih banyak lagi membaca karya-karya orang lain.

Saya kira, beasiswa pun demikian. Saya perlu banyak mencoba mengirimkan lamaran beasiswa. Banyak menyerap ilmu dari mereka yang sudah pernah mendapatkannya. Termasuk membaca buku-buku yang akan terus menyalakan bara semangat itu.

Makanya, ketika ada orang lain yang bertanya, “Kamu kan sudah ke sana sini di Indonesia, kapan nih ke luar negeri?”

‘Ke sana ke sini’ itu hanya penghalusan dari saya saja. Aslinya, mereka banyak yang mengatakan kalau saya sudah keliling Indonesia, padahal tentu saja itu bohong. Baru seujung kuku dari Indonesia yang saya pijaki.

Selain meladeni dengan senyum, saya biasanya bilang, “Pengin sih, tapi pengin keliling Indonesia dulu. Masih banyak tempat di Indonesia yang belum saya jelajahi.”

Keinginan melihat negeri-negeri jauh tetap ada dalam diri saya. Tapi, tiga tahun belakangan ini, Indonesia tampaknya jauh lebih menarik untuk diselami.

Dan, kalaupun saya ke luar negeri, cita-cita saya adalah lewat jalur beasiswa. Pakai duit sendiri? Kesampingkan dahulu. Kalau lewat kompetisi? Kenapa tidak? Bukankah beasiswa pun tak ubahnya kompetisi? Nah!

Beasiswa di Bawah Telapak Kaki Ibu by Irfan Amalee di antara tumpukan buku lainnya

Beasiswa di Bawah Telapak Kaki Ibu-nya Irfan Amalee di antara tumpukan buku lainnya

Makanya, dua hari menjelang Idul Fitri, ketika berkunjung ke Rumah Buku, saya tak perlu menimbang lama untuk meraih buku ‘Beasiswa di Bawah Telapak Kaki Ibu’-nya Irfan Amalee dan membawanya ke kasir. Mengapa? Sang penulis menceritakan pengalamannya meraih beasiswa Ford Foundation untuk kuliah master di Brandeis University, AS. Dia bercerita dari awal perjuangan sampai pulang kembali ke Indonesia dengan taburan kisah yang penuh hikmah. Apalagi buku berkonsep 2 in 1 yang di sampul keduanya berjudul cukup provokatif: Pungutlah Hikmah Walaupun dari Mulut Paman Sam.

Ya, buku tersebut mengingatkan saya kembali pada impian saya. Ke Amerika Serikat lewat jalur beasiswa.

Bukan sesumbar, tapi saya mencoba mensugesti diri lewat bab Hukum Pareto: Jangan Remehkan Hal Kecil, yang tertuang dalam buku ini. Bahwa banyak hal-hal besar dalam hidup bermula dari kejadian-kejadian kecil. Cara mengetahuinya? Melatih sensitivitas. Dan jikalau memang hal kecil itu, salah satu di antaranya adalah dengan saya tergerak mengesampingkan beli ‘And The Mountains Echoed’-nya Khaled Hosseini dan lebih memilih membeli ‘Beasiswa di Bawah Telapak Kaki Ibu’ ini, maka saya tinggal merajut hal-hal kecil yang akan mengantarkan pada cita-cita saya tersebut.

Apalagi karena bercita-cita itu tidak dipungut biaya, kenapa tidak memasang cita-cita yang tinggi dan banyak sekalian?

Tuhan, berikanlah antusiasme kepada kami, sebab Antusiasme pun sebentuk doa. Antuasisme-lah yang memberitahu kami bahwa hasrat-hasrat kami penting dan layak diperjuangkan semaksimal mungkin. Antusiasme-lah yang mengukuhkan kepada kami bahwa segala sesuatu tidaklah mustahil asalkan kami sepenuhnya berkomitmen pada apa yang kami lakukan. Kabulkanlah doa kami… (Doa yang Terlupakan – dalam Seperti Sungai yang Mengalir, Paulo Coelho)

23 thoughts on “Indonesia, Negeri Jauh, dan Cita-cita

  1. wah buku yg sama yg sy beli juga waktu “semedi” di gramedia dua hari lalu, sempet bingung nyari bukunya gara2 sampulnya yg beda warna. waktu baca resensi buku ini di internet, sampulnya yg kuning. tp pas di gramed muter2 nyari si sampul kuning kok nggak ketemu2, eh ternyata di display dg sampulnya yg biru, hehe.
    Semangat kuliah ke Amerika Serikat, jalur beasiswa… 🙂

    • Iya, Mbak. Buku yang bagus. Saya kira kelak Mbak juga bisa bikin buku serupa sepulang dari Thailand 🙂
      Aamiin untuk doa Mbak. Doa dari peraih beasiswa seperti Mbak Insya Allah manjur ya 🙂

  2. Waaaahhhhh pengalamanmu saat pertama menginjakkan kaki di pulau Jawa sama seperti pengalamanku menginjakkan kaki di Pulau Madura dulu 😀
    Selalu senang membaca cerita2mu ..
    Good Luck yaa Lalu ^_^

  3. Sampe detik ini keyakinanku akan kesuksesan Fatah gak pernah pudar. Kelak pasti akan dapet beasiswa ke luar negeri. Dan semoga itu ke Amerika Serikat sesuai keinginan Fatah (lagi-lagi, biar aku bisa main-main ke sana. hihihi). Terus berjuang ya Tah 🙂 Fokus dulu yang ada di depan mata, sisanya akan menggiring dengan sendirinya ^^ *you know what I mean* 😀

  4. Ping-balik: Mudik – Mimpi Juragan Kontrakan – Ditawar | Jejak Langkah

  5. Tetep semangat, kejar cita – cita! sampai kapanpun 🙂 kalau ngikut novel 5 cm, selalu gantung cita – citamu 5 cm di depan kamu, pasti bisa! Mengutip dari penyemangat tim ketika masih kuliah dulu “Keep Spirit, Stay Healty And Always Pray!”

  6. Antusias memang perlu. Banyak hal yang dulu takut saya lakukan, ternyata sekarang sudah biasa saya lakukan, Takut duluan memang momok yang harus dilawan pertama kali. Terus berjuang, Mas. Semoga dapat beasiswa

  7. Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan org2 tidak menyadari betapa dekatnya mereka dg keberhasilan saat mereka menyerah. Tetap semangat ya tah,kejar terus mimpi2nya, fight!!

Tinggalkan Balasan ke @endahya Batalkan balasan