Meta-awareness: Belajar Melampaui Kesadaran

Sejak menemukan istilah ini dari wawancara Daily Stoic dengan Mark Manson, penulis buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, saya makin penasaran untuk menajamkan pemahaman saya akan hal ini.

Meta awareness alias melampaui kesadaran. Kita mengarahkan pikiran untuk secara jernih memandang kesadaran. Semacam kita belajar untuk menguliti diri kita, menyadari tentang apa dan mengapa kita melakukan tindakan tertentu. Mengapa kita lapar, misalnya? Dan mengapa kita menahan-nahan diri dari rasa lapar padahal kita sebenarnya bisa segera makan? Mengapa kita memilih meneguk air putih untuk mengganjal rasa lapar kita, alih-alih makan?

Meta awareness berarti kita menyadari bahwa kita sadar atau tidak sadar melakukan sesuatu. ‘Melakukan’ ini konteksnya luas, bisa berupa tindakan, ucapan, respons indrawi, dan sebagainya.

Mark Manson yang memopulerkan sikap ‘bodo amat’ alias not giving a f*ck melalui bukunya, sebenarnya mengajarkan satu hal penting: tidak semua hal penting untuk kita perhatikan. Tidak semua hal itu perlu untuk kita pikirkan. Tidak semua perkara harus kita masukkan dalam hati. Tidak semua hal harus kita baperkan.

metawareness

Belajar lebih mindfull – lebih berkesadaran – akan membantu kita dalam menjalani hidup. Sumber gambar: https://www.theodysseyonline.com/truth-being-man

Sebab apa? Kalau semua hal kita ‘pusingkan’, kita bisa burnout. Terbakar emosi. Kita jadi tak mampu melihat perkara secara jernih. Kita jadi reaktif. Belum terurai satu masalah, kita campuradukkan dengan masalah lain. Akhirnya jadi benang kusut. Ruwet. Pikiran yang ruwet pun akan menghasilkan tindakan yang ruwet.

Ya, otak begitu ampuh untuk diberdayakan termasuk dimanipulasi. Maka, salah satu cara melatih meta-awareness ini belajar berpikir logis. Belajar untuk mengembangkan neo-cortex. Belajar logika akan membuat kita lebih logis dalam mengambil keputusan.

Kemampuan berpikir dan berlogika ini teramat penting. Saking pentingnya, Allah Swt. berkali-kali mengimbau dalam Alquran agar kita, pembacanya, belajar berpikir, menjadi kaum yang berpikir. Allah membentangkan alam semesta sebagai media kita untuk belajar. Media kita untuk berpikir. Apakah kita mengambil pelajaran atau tidak?

Tak usah jauh-jauh melihat ke sekitar dan main tunjuk, coba tanyakan diri sendiri. Apakah kita sudah benar-benar menghayati keberadaan alam semesta? Paling dekat adalah sudahkah kita belajar memahami diri kita sendiri? Bukankah seorang ulama pernah mengatakan, siapa mengenal dirinya, kenallah ia akan Tuhannya?

Ini kalimat yang sungguh luar biasa bila direnungkan. Maka, pertanyaan tentang siapa kita sebagai manusia, pasti akan mengemuka. Kalaupun kita akan menemukan kesulitan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, jangan menyerah untuk terus bertanya. Jangan lelah untuk mencari jawaban. Jangan padamkan rasa ingin tahu dan nalar kritis kita.

Sebab dengan proses itulah, satu persatu pertanyaan diri kita ini akan terkuak. Dan, dari situlah kita akan lebih bijak menilai diri kita, orang lain, makhluk hidup lainnya, juga Sang Pencipta. Bahwa, di balik ciptaan, pasti ada pencipta. Di balik tulisan yang sedang Anda baca ini, pasti ada penulisnya.

Lantas, semoga kelak kita akhirnya bisa menemukan jawaban paripurna. Jawaban kunci dan mutlak dari pencipta kita.

 

Surabaya Hotel School, 8 Mei 2019

Sila Urun Tutur