Cerita yang Meneror dalam Kapotjes dan Batu yang Terapung

Saya menulis ini bukan dalam kapasitas sebagai kritikus sastra. Saya hanyalah penikmat cerita pendek sejak SMP dan makin tergila-gila saat mengenal majalah sastra Horison di SMA. Saya juga kebetulan baru saja merilis Rindu Lindu yang berisi 13 cerpen. Kamu bisa memesannya di sini.

Faisal Oddang

Faisal Oddang, sastrawan muda asal Makassar. Sumber: twitter.com

Saya baru saja menuntaskan membaca cerpen Faisal Oddang, Kapotjes dan Batu yang Terapung. Cerpen ini dinobatkan sebagai cerpen terbaik Kompas 2018 bersama cerpen karya Raudal Tanjung Banua, Aroma Doa Bilal Jawad. Dua cerpen ini pun di’lebur’ oleh Kompas menjadi judul buku kumpulan cerpen tersebut menjadi Doa yang Terapung.

Terkait Kapotjes dan Batu yang Terapung, saya merasa langsung terteror dari awal.

Hari pertama, selangkangan saya disodok besi cocor bebek—untuk memastikan kau tidak penyakitan—kata dokter yang memeriksa sebelum memerkosa saya.

Membaca bagian ini, saya langsung teringat Marsinah, ikon perjuangan buruh, yang mengalami ‘pembantaian’ pada 1993.  Saya merasakan ngilu. Membayangkan kemaluan kena sodok itu rasanya …. Silakan Anda bayangkan sendiri.

Sepanjang membaca cerpen ini, saya merasakan intensitas teror yang dilakukan oleh Faisal Oddang. Ia piawai untuk ‘mengepung’ pembaca agar tidak teralih sedikit pun dari cerita yang ia ramu. Pemilihan kata-katanya. Adegan per adegannya. Dialog batin tokoh-tokohnya. Benar-benar intensif dan mengepung.

Hana kini ada di bawahku. Aku masih menangis. Hana juga menangis. Aku sungguh takut. Bisa saja aku dibunuh. Aku sudah sering lihat orang dipenggal dan digantung di tempat ini. Kebanyakan jugun ianfu yang melawan. Ada yang mau kabur. Ada yang lukai tamu. Ada yang penyakitan juga. Tentara itu tidak akan pikir panjang sebelum bunuh aku. Bagi mereka, aku tidak hasilkan uang. Tidak berguna seain untuk bersih-bersih.

“Lakukan sekarang! Atau kutusuk kau,” dia mengancamku dengan bayonet.

Aku tidak bisa. Aku merasa tulangku seperti remuk. Baru saja tentara itu menendang lalu membuatku jatuh ke lantai.

“Sekarang kau lihat, kuajari kau. Awas kau tutup mata!”

Selain itu, perpindahan point of view alias sudut pandang karakter, yakni antara Hana dan Kama, membetot perhatian saya. Oddang tidak memberi celah pada saya untuk beralih perhatian. Teknik ini efektif untuk mengawal pembaca dari kiri dan kanan biar tetap fokus membaca.

Oddang menggunakan sudut pandang orang pertama. Untuk tokoh Hana, Oddang menggunakan kata ‘saya’, sementara untuk tokoh Kama menggunakan kata ‘aku’.

Saya juga bisa merasakan cara tutur yang berbeda dari masing-masing tokoh ini. Tokoh Hana berbicara dengan kalimat-kalimat panjang (lebih berupa kalimat majemuk – hingga majemuk bertingkat). Sementara tokoh Kama berbicara pendek-pendek (lugas).

Perhatikan narasi yang digulirkan oleh tokoh Hana.

Hari itu, ketika tentara yang lain menemukan tubuh temannya tak bernyawa—mereka menyeret saya ke lapangan, saya disiksa dan hampir saja digantung. Saya masih muda, masih baru, dan rugi membunuh seseorang yang bisa menghasilkan uang banyak bagi mereka, itu yang buat saya masih hidup.

Sementara ini narasi yang disampaikan oleh tokoh Kama.

Aku menyukai Hana. Tapi, agar tidak mati, aku harus lari. Jadi. terpaksa aku meninggalkannya. Sebenarnya, bukan karena Hana saja kubunuh tentara itu. Sebenarnya, aku sedang balas dendam. Untuk Bapak dan Ibu.

Kamu bisa menemukan dan merasakan perbedaannya, kan?

Saya pikir teknik ini amat berhasil, apalagi untuk medium yang ruangnya ketat seperti cerpen. Dengan jumlah kata yang terbatas, penulis dituntut untuk mengoptimalkan ruang tersebut.

Dan, saya pikir Faisal Oddang dianugerahi kemampuan luar biasa untuk ‘bermain-main’ dengan kata. Apalagi dengan rekam jejaknya menulis puisi, menulis cerpen, hingga novel yang notabene memiliki karakteristik sendiri. Puisi yang padat, cerpen yang ruangnya lebih lega, dan novel yang lebih leluasa untuk bertutur ini itu.

Saya sadar sepenuhnya bahwa pendapat saya ini amat subjektif. Apalagi saya memang tidak menggunakan seperangkat alat kritik untuk membedah cerpen ini. Saya hanya membedahnya dari sudut pandang saya sebagai penikmat.

Dan, sejak awal pikiran saya dituntun oleh label ‘cerpen terbaik Kompas 2018’. Jadi, bagi kamu yang kritis, tentu sudah menangkap kesan bahwa tulisan ini hanyalah upaya ‘sok analitis’ yang menampilkan kelebihan-kelebihan cerpen ini.

Demikian dari saya.

Oya, saya masih membuka pre-order buku kumpulan cerpen perdana saya, Rindu Lindu. Cek informasinya di poster, ya!

Terima kasih.

PreOrder Rindu Lindu

Sila Urun Tutur