Chris de Bode

Chris de Bode sedang memotret salah satu anak

Chris de Bode sedang memotret salah satu anak

Sebuah pengalaman mengesankan bisa bertemu dan obrol-obrol dengan Chris de Bode, seorang fotografer asal Belanda. Disponsori oleh Plan, LSM yang fokus pada pemberdayaan masyarakat khususnya anak-anak, ia berkunjung ke Desa Logandu, Kecamatan Karanggayam, Kabupaten Kebumen selama tiga hari (12-14 Februari 2013). Selain memberi pelatihan fotografi pada Kelompok Anak “Child Al-Habib”, ia juga memotret anak-anak dengan barang kesukaan mereka. Ada yang bawa nasi goreng, sepatu bola, bola, buku, komik, dan sebagainya. Foto-foto mereka nantinya akan dipamerkan di Belanda.

Sebagai fotografer profesional yang karyanya sudah tersebar di National Geographic, Time Magazine, The Economist, Business Week, dan sebagainya, ia hanya memberi dua tips pada pemula seperti saya, kurang lebih, “Play with the lights and please communicate to people you photograph to get natural expressions.”

Chris mengapresiasi sekaligus memberi tips fotografi pada kelompok anak "Child Al-Habib"

Chris mengapresiasi sekaligus memberi tips fotografi pada kelompok anak “Child Al-Habib”

Tip yang pertama, sebagaimana biasanya kalau bule memberi tutor, sambil diperagakan pada saya. Kebetulan di ruang tamu di salah satu rumah penduduk – tempat kami makan, ada seberkas sinar yang masuk melalui genting. Sinar itu jatuh di dekatnya. Ia pun mencontohkan sambil menjauh-dekatkan wajahnya ke sinar. Dan, saya takjub! Benar sekali. Ada perubahan yang menarik dari terang gelap akibat sinar matahari tersebut. Sungguh memahamkan!

Tip yang kedua, ia bercerita tentang pengalamannya mengikuti tim ice skating Belanda sampai jelang Olimpiade nanti. Tim ice skating ini salah satu yang diunggulkan oleh Belanda. Chris ‘hidup’ bersama mereka. Tinggal bersama mereka dan ikut ke mana pun mereka berkegiatan. Dari situlah ia bisa mendapatkan ‘cerita’ sekaligus menggali lebih dalam ‘ruh’ yang akan ia tampilkan melalui jepretan lensanya.

Untuk itu pula, menjadi semacam panggilan bagi penggemar foto humanis yang telah terjun di medan-medan ‘sulit’ seperti Israel dan Palestina ini, untuk ‘live with people that become your object’. Ketika ia tanya, “Apakah kamu juga melakukan itu untuk menulis buku ini?” Dan, saya jawab, “Iya”, ia cuma bilang, “Good!”

Saya kira, tugas fotografer dan penulis tidak jauh berbeda. Fotografer menuliskan cerita melalui bidikan kameranya. Sementara penulis menjepret cerita melalui penanya. Makanya, acap saya dengar orang berkata, “Biarkan foto yang berbicara.” Nah, untuk mendapatkan foto yang berbicara, seorang fotografer harus punya konsep cerita di kepalanya.

Dan, ketika foto jepretan anak-anak Logandu dinilai olehnya, yang menjadi juara 1 adalah foto karya Vinly Indar Wati, siswi kelas 2 salah satu SMA di Kebumen. Saya belum bisa menampilkannya di sini karena belum sempat mengopi file-nya. Ia memotret empat anak dengan latar belakang hamparan sawah menghijau. Keempat anak tersebut berjejer sambil tertawa riang. Dari kiri ke kanan, objek foto (keempat anak itu) dari jelas ke kian blur. Chris memfavoritkannya!

Peraih “3rd Prize World Press Photo sports singles” ini kala diundang siaran di Radio Komunitas Karangsambung dan ditanya mengenai cara menjadi fotografer, dia menjawab simpel, “You must have a camera.” Jawaban yang langsung mengundang senyum karena ekspektasi para pendengar yang akan memperoleh uraian canggih darinya.

Dari situ saya belajar bahwa semakin profesional dan ahli seseorang, ia justru berusaha untuk menyederhanakan bahasanya agar mudah dipahami. Bukan malah membusa-busa dengan menunjukkan kemampuannya. Hal yang mengingatkan saya pada (lagi-lagi) Agung Widhianto, anak Kebumen yang profilnya sedang saya tulis, “Kalau menunjukkan saya mampu, itu mudah. Tapi, kalau memampukan orang lain, itu sangat sulit. Dan, saya ingin memampukan orang lain.”

9 thoughts on “Chris de Bode

  1. “Dari situ saya belajar bahwa semakin profesional dan ahli seseorang, ia justru berusaha untuk menyederhanakan bahasanya agar mudah dipahami.”

    Ini setuju banget. Kadang kita tanpa sadar berusaha menggunakan bahasa yang canggih biar terkesan pintar 😀

  2. aha iya pernah dikasih tahu triknya sama abang yang potograpi.. kalu mo bikin foto itu berkatakata, leburlah kesana, mo cari petani, kudu tahu hidup petani kaya apa, ikutan nyeker ikutan bertani, dan atur cahaya.. persis katakatanya si chrisdebode.. ada fb ato tuiter ga dia?

      • *mmhh kontakan ga ya satu mbak kece sama dikau yang hobi potograpi? soale daku kalu moto ga peduli fotonya kece apa engga, tapi momento dan bikin foto bercerita itu cukup buat daku.. dan satu mbak kece ini protes, ngapain punya kamera canggih kalu ga dimanfaatin.. bener juga, cuma esensinya dong, bukan canggih ga-nya kamera toh.. pake hape juga bisa ambil momento, penting buatku itu momentonya.. kejadian yang bisa kita lihat dengan “batin” ga bisa dikeker dengan kamera secanggih apapun.. toh ga tiap hari daku tentengtenteng kamera..

        ke fb-nya deh..

  3. Ping-balik: Kebumen dalam 1001 Kata | Setapak Aksara

Sila Urun Tutur