Fian Si Pejalan

Fian aka Epifanius Karso Seda Gadi

Fian aka Epifanius Karso Seda Gadi

Di warung makan tadi malam, saya kembali berjumpa dengan adik kelas saya, Fian, anak Ende. Kami ternyata sama-sama baru dari gudang buku. Ia seharian di Gramedia Manyar. Saya di Perpustakaan Balai Pemuda. Kami pun ngobrol sampai ia tiba di kisah yang membuat saya merasa ‘sungguhkah?’

Fian yang telah pindah dari HI ke Sastra Indonesia, berkisah bahwa di bulan-bulan awal tinggal di Surabaya, ia sempat mengalami gegar budaya. Kesepian di kos, sementara ia terbiasa hidup di lingkungan keluarga yang ramai di Ende sana.

Tiap bangun tidur, ia mencium tanah. Bagi keluarganya, Jawa dianggap tanah dewa. “Orang kami yang bisa kuliah di Jawa dianggap wakil dewa,” tutur Fian yang bernama lengkap Epifanius Karso Seda Gadi.

“Oya? Mengapa?” kejar saya.

“Karena bagi orang sana, khususnya keluargaku, bisa sekolah di sini itu tidak main-main. Butuh biaya besar.”

Fian dan keluarganya tinggal di kaki Gunung Wongge, sekitar 15 menit naik angkot dari Ende yang merupakan kota pantai.

Tapi, kebiasaan mencium tanah yang merupakan ekspresi syukur itu, berganti dengan… “Bangun tidur, aku langsung ke jendela, Mas.”

“Ngapain?” tanya saya keheranan. Saya kira ia akan melompat dari jendela atau sekadar duduk-duduk dan melakukan hal ganjil lainnya.

“Memandang orang yang lalu-lalang. Aku masih belum percaya kalau aku bisa sampai di sini.”

“Berapa lama kamu melakukan itu?”

“Satu semester.”

Subhanallah! Saya pun bisa memahami kalau kesempatan kuliah di sini benar-benar tidak ia sia-siakan. Ia betah berjam-jam di toko buku. Meraup limpahan ilmu. Ia bahkan cukup sering jalan kaki pulang pergi dari kosnya di Karang Menjangan ke Kampung Ilmu di Jalan Semarang juga Blauran.

Kebiasaannya jalan kaki itu kerap memancing tanya. Jalan kaki di siang bolongnya Surabaya yang terkenal panas ini?

“Orang-orang sana biasa jalan kaki, Mas. Bahkan, dari rumahk ke Ende saja butuh satu jam jalan kaki. Apalagi jalan di sana banyak yang rusak,” ujarnya.

“Kamu di Surabaya ini, paling jauh jalan kaki ke mana?” tanya saya.

“Dari kosan ke Sidoarjo. Daerah lewat Terminal Bungurasih.”

Saya cuma melongo. Sebagai gambaran, naik motor saja butuh sekitar 25-30 menit dengan kondisi traffic normal ala Surabaya.

“Aku kalau capek, ya istirahat dengan duduk dan baca buku. Habis baca buku, segar, aku jalan lagi.”

Saya masih tergugu. Bukannya istirahat dengan duduk, makan, dan minum. Tapi, baca buku?

Saya tidak mempertanyakan itu. Saya cuma meyakini kalau Fian memang memiliki self power yang besar. Ia percaya pada kemampuannya. Ia bisa mengukur dirinya. Hingga keputusan untuk pindah dari HI pun, misalnya, karena ia mendalami dan mengukur minat dan kemampuannya. Sebuah keputusan yang saya acungi jempol!

Fian amat menggemari sastra. Ia rajin menulis puisi. Biasanya ia tuliskan di notes atau ketik di laptop. Tapi, sejauh ini tidak ia publikasikan di blog atau jejaring sosial.

Ketika saya afirmasi hal itu dengan diri saya yang juga punya blog khusus berisi pemikiran-pemikiran saya dan tidak saya woro-woro di jejaring sosial, Fian langsung nyeletuk, “Mas itu mirip dengan Emily Dickinson.”

“Aku pernah dengar namanya. Tapi, ada apa dengan dia?”

“Dia menulis untuk dirinya sendiri. Bukan untuk orang lain.”

Saya paham sekarang. Tentu saja, Emily Dickinson jauh lebih banyak terjelma dalam diri Fian.

“Kamu kalau jalan, apakah bawa catatan?”

“Iya, Mas. Kadang buku. Kalau tidak aku selipkan di saku, ya di punggung,” katanya sambil menunjukkan punggung bagian bawah dekat pinggang.

Saat ini anak muda berambut keriting yang telah 3 tahun tidak pulang kampung ini, sedang sibuk menyelesaikan proyek terjemahan buku pelajaran agama dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Itu adalah proyek dari Ordo Timur asal Rusia yang hendak membuka ‘cabang’nya di Indonesia.

Kami juga membahas Umbu Landu Paranggi, penyair asal Sumba, tetangga beda pulau Fian. Umbu dikenal sebagai penyair yang misterius karena ia justru memilih jalan sunyi daripada mencari-cari sorot kamera. Padahal ia adalah guru bagi banyak sastrawan kawakan macam Emha Ainun Najib dan Linus Suryadi AG.

Ah, Fian. Saya bertekad suatu hari nanti, jika ia telah jadi orang, akan menulis kisah hidupnya yang menginspirasi itu. Bagaimana tidak, ketika ngobrol dengannya, saya selalu menanti-nantikan untaian mutiara yang akan keluar. Termasuk ketika saya dibuat takjub oleh ceritanya tentang pesan Sang Ayah kepadanya.

“Melanglangbuanalah sampai waktumu hilang.”

Saya terpukau dengan kalimat itu. Sampai saya memintanya untuk mengulangi lagi ucapannya. Sampai saya poskan di Facebook, tulis ulang di blog, dan abadikan di buku Love Journey: Ada Cinta di Tiap Perjalanan.

33 thoughts on “Fian Si Pejalan

  1. Berdasarkan pengalaman jaman kuliah, anak daerah biasanya punya semangat berlipat, makanya aku dulu lebih senang bergaul ama anak-anak Minang, karena kami punya garis benang yang sama; anak rantau 😀

  2. Emang bakat ente nulis udah gak diragukan lagi sejak saya mengenal ente bersama Pak Suazrin. 😀

    Intinya sih menurut saya: 1. Know your passion; 2. Uthlubul ‘ilmi walaw bi al-Shiin; 3. Selalu menjadi musafir (dalam artian yg luas).

    Teruskan karyamu kisanak. Suatu saat nanti saya berjanji akan membeli bukumu (secara gratis :-p)

    • Halo, teman sebangku saya!
      Terima kasih ya sudah main ke sini.
      Saya ingat betul ketika Lutfi rajin memerhatikan pelajaran, saya malah sibuk nulis puisi di bangku paling belakang… :))

      Eh, ayooo borong buku-buku saya. Hadiahkan ke anak cucunya Lutfi :))

  3. sampe sekarang tidak diposting tulisannya fian? benerbener emilydickinson.. penulis puisi yang hidupnya sunyi, mogamoga fian ga terlalu sunyi ya..
    pernah jalan ga dari depok ke patung pancoran lewat pasar minggu? kaya gitu ga? kalu naik motor 20 menit sampe.. tiap hari fian jalan begitu? kaya orang badui ya..
    salam buat dia, semoga sukses proyek buku agamanya.. hebat translator toh..

    • Iya, Mbak. Malah saya yang khawatir terhadap nasib karya-karyanya. Saya pun menyarankan agar dia juga punya arsip digital, sekadar taruh di e-mail, mungkin. Karena saya ceritakan pula bagaimana sedikit penyesalan saya karena dulu PC saya pernah di-instal ulang dan karya-karya awal saya saat SMA ikut raib pula.

      Anyway, saya belum pernah jalan dengan rute yang Mbak maksud. Tapi, kalo itungannya sekian menit itu, sepertinya sama juga deh. Dia tiap hari jalan kaki, Mbak. Bahkan, ia menyatakan keheranannya pada teman kontrakan saya (yang juga teman seangkatannya di HI) mengenai cara bermotor teman saya itu. Tapi, beberapa kali kami juga melihat Fian naik motor, mungkin pinjaman temannya. Iya, jalan kaki sudah jadi budayanya sih 🙂

      Salam Mbak Tin akan saya sampaikan 🙂

      • itungannya 30kilometer gitu.. ku dulu pernah jalan tuh dari kos depok ke patung pancoran.. paling jauh ku jalan kaki dari putatnutut/bogor ke rinifdam di cijantung, ada 60kilometer, itu jaman menwa deh.. itu kalu di jalan ya.. tapi gunung sih jangan tanya, lain lagi..
        kalu fian enjoy sama nulis karyanya di buku ya gapapa, udah arsip itu.. kalu di komputer cuma fian yang bisa buka kan kudu pake password, kalu buku malah semua juga bisa baca kalu nemu bukunya.. 😀

      • Wow! Jauh juga ya, Mbak. Nggak ada apa-apanya dibanding saya sebagaimana yang saya tulis di buku Travelicious Lombok. Pas jalan kaki dari Desa Bayan ke Senaru :)))
        Ya, di atas langit masih ada langit.
        Nggak heran deh saya waktu jalan dampingan sama Mbak Tien, saya kalah cepat gitu. Mbak Tien sudah terlatih gitu 🙂

        Iya, saya kira, dia pun memahami bagaimana makna berkarya dan mengarsipkannya. Cara berbeda dengan saya yang karena kurang nyaman tulis tangan dan nggak telaten nyimpan catatan di buku, makanya milih simpan di blog atau email 🙂

  4. Sasindo angkatan berapa ini Fat ??? mau dong kenal…
    tapi sayang gak ada jejaring sosial yah ??

  5. nyes di hati..
    pemuda yang penuh dengan inspirasi
    He has his own way for being awesome without try to be awesome. He’s inspired man, just like you, brotha! 🙂

    Cemangat celalu dan calam buat kawanmu Fian, yah, brotha! 🙂

  6. Ping-balik: R07. wipitainment | tinsyam

  7. sayang sekali pengalaman seperti itu tidak ditulis.

    saya juga pernah jalan tumpang-bromo satu jam perjalanan dengan kendaraan. jadi kepengen ngajak fian jalan bareng ke gunung nich he he he

Sila Urun Tutur